Rabu, 09 Mei 2012

APLIKASI TEORI BELAJAR EDWARD LEE THORNDIKE DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SD


  1. Teori Belajar  Edward Lee Thorndike
 Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940). Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Thorndike memplokamirkan teorinya dalam belajar ia mengungkapkan bahwasanya setiap makhluk hidup itu dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon adapun teori thorndike ini disebut teori koneksionisme. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dalam artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbulah respon yang maksimal teori ini sering juga disebut dengan teori trial and error dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan denagan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis oarganisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bias juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemukakn respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menelurkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseoarang atau organisme lainya karena dirasa diantatara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah itu, selama yang telah dilalakukan dalam menanggapi stimulus dan situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau situasi baru itu sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Dalam membuktikan teorinya thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makanan yang berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. mula-mula kucing tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang kucing ini melakuakn respon atau tindakan dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada. Thrndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemukan jalan keluar membutuhkan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumlah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang ia pegang tindakan ini sehingga kucing tadi dalam keluar untuk mendaptkan makanan tidak lagi perlu mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
Dalam teorinya Thorndike mengemukakan tiga hokum dalam belajar, yaitu:
1.  Hukum kesiapan (Law of Readiness)
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik dan psikis, siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa menagganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain.
Di samping sesorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang mendasarinya.
2.   Hukum Latihan (Law of Exercise)
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan prilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut agar tindakan tersebut semakin kuat (law of use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentrasfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini di butuhkan pengulangan sebanyak-banyak nya dengan harapan pesan yang telah di dapat tidak mudah hilang dari benaknya.
Adapun dalam percobaan Throndike pada seekor kucing yang lapar yang ditaruh dalam kandang, pertama-tama kucing tadi membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui pintu kandang tersebut dan untuk menemukan pintu tersebut membutuhkan pecobaan tingkah laku yang berulang-ulang dan membutuhkan waktu yang relative lama untuk mendapatkan tingkah laku yang cocok, sehingga kucing tadi untuk keluar tidak membutuhkan waktu yang lama.
3.  Hukum Akibat (Law of Effect)
Setiap organisme memiliki respon sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan situasi yang baru, apabila suatu organisme telah menetukan respon atau tindakan yang melahirkan kepuasan dan keocokan dengan situasi maka hal ini pasti akan di pegang dan dilakukan,  sewaktu-waktu ia di hadapkan dengan situasi yang sama. Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan kepuasaan dalam menghadapi situasi dan stimulus maka respon yang seperti ini akan ditinggalkan selama-lamanya oleh pelaku. Hal ini terjadi secara otomatis bagi semua binantang (otomatisme).
Hukum belajar ini timbul dari percobaan Thorndike pada seekor kucing yang lapar dan ditaruh dalam kandang, yang ditaruh makanan diluar kandang tersebut tepat didepan pintu kandang. Makanan ini merupakan effect positif atau juga bisa dikatakan bentuk dari ganjaran yang telah diberikan dari respon yang dilakukan dalam menghadapi situsai yang ada. Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan seseoranng dalam memberikan punishment atau reward . Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut teori koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada Law of Effect yang mana disini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya(Effect).
  1. Cara Belajar Siswa Sekolah Dasar
Memahami cara belajar anak adalah kunci pokok untuk menunjang keberhasilan anak. Sebaliknya, jika cara belajar anak tidak dipahami, maka hasilnya akan kurang maksimal. Secara umum, cara belajar adalah bagaimana seseorang menangkap, mengerti, memproses, mengungkapkan, dan mengingat suatu informasi.
Cara belajar anak SD dibanding orang dewasa mempunyai perbedaan yang besar. Anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata. Schemata adalah sistem konsep yang merupakan hasil pemahaman anak atas objek yang berada di sekitar anak. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu menghubungkan objek baru dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah proses memanfaatkan konsep-konsep yang sudah ada dalam pikiran untuk menafsirkan objek baru.
Kedua proses tersebut akan berlangsung secara terus menerus sehingga membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan demikian anak akan dapat membangun pengetahuan melalui interaksi secara langsung dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.  Anak senantiasa belajar. Tak pernah mereka berhenti belajar. Bahkan mereka mungkin mempelajari beberapa hal sekaligus, padahal kita tidak pernah bermaksud mengajarkan hal tersebut kepada mereka. Kalau pengajaran kita tidak menantang mereka, boleh jadi mereka “belajar” bahwa Sekolah Minggu sangat membosankan dan tidak menarik. Jika penelitian Alkitab tidak membangkitkan minat, boleh jadi mereka “belajar” bahwa Alkitab adalah buku kuno yang menjemukan dan tidak ada hubungannya dengan masa sekarang. Jika mereka secara pribadi tidak terlibat dalam bagian doa dan penyembahan, boleh jadi mereka “belajar” bahwa saat doa adalah waktu yang baik untuk mengganggu teman yang duduk di sampingnya karena guru sedang menutup mata.
Anak akan paling cepat belajar bila hal itu dijadikan sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan. Dalam proses belajar ada dua macam dorongan. Yang pertama adalah dorongan dari luar, secara lahir. Beberapa contoh dari dorongan sejenis ini ialah ganjaran, hadiah, penghargaan, dan pujian. Dalam mengajar di Sekolah Minggu ada tempat bagi dorongan sejenis ini, tetapi jangan sampai merupakan dorongan satu-satunya.

C.       Aplikasi Teori Thorndike dalam Pembelajaran

Sebelum guru dalam kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk, reward dan punishment sehingga memberikan motivasi proses belajar mengajar yang rapi, tenang dan sebagainya. Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem drill. Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, dan pujian.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Siswa dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar